ANALISIS KASUS KECELAKAAN KRL LINTAS JAKARTA - BOGOR SEPTEMBER MENGGUNAKAN EMPAT TEORI PUBLIC RELATIONS
LAPORAN TUGAS AKHIR UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS) MATA KULIAH TEORI PUBLIC RELATIONS
“Analisis
Penanganan Kasus Kecelakaan KRL Lintas Jakarta – Bogor September 2015
Menggunakan 4 Teori Public relations
: Image Restoration Theory, Excellence
Theory, Boundary Spanning dan
Situational Theory of The Public”
TUGAS AKHIR
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori Public
relations
Dosen Pengampu: Maulina Pia
Wulandari, Ph.D
NAMA :
DIAN ARTIKA 145120201111077
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN
ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
A.
DESKRIPSI STUDI KASUS
DAN KRONOLOGI
Dikutip
dari portal berita Kompas.com, Prahesti (2015) menuliskan bahwa terjadi
kecelakaan kereta rel listrik (KRL)
lintas Jakarta Kota – Bogor di Stasiun Juanda, Jakarta Pusat pada Rabu, 23
September 2015 pada pukul 15.30 WIB. Manager Komunikasi PT KRL Commuter
Jabodetabek (KCJ), Eva Chairunnisa menjelaskan bahwa sekitar pukul 15.27 WIB,
KRL KA 1154 tujuan Bogor di Stasiun Juanda tengah berhenti dan dalam proses
menaikkan dan menurunkan penumpang di peron dua, jalur dua Stasiun Juanda.
Kemudian, datang KA 1156 dan menabrak bagian belakang KA 1154. Penjelasan dari
Manager KCJ itu ditulis oleh Ansyari (2015) dari Viva.co.id . Lebih lanjut Eva
mengatakan rentang jarak secara normal KRL pada sore hari seharusnya
sekitar 5-7 menit.
Prahesti
(2015) menuliskan penjelasan dari Asisten Manajer Komunikasi PT KAI Commuter
Jabodetabek (KCJ), Adli Hakim. Beliau menyebutkan tidak ada korban jiwa dalam
insiden itu tetapi terdapat 38 penumpang yang mengalami luka akibat benturan.
Para penumpang dilarikan yang luka-luka dilarikan ke RS Pusat Angkatan Darat
(13 orang), RS Tarakan (2 orang) dan RS Husada (23 orang). Kebanyakan penumpang
mengalami luka –luka karena benturan yang cukup keras. Ada yang patah tulang
hingga kepala yang pecah akibat kecelakaan ini Kecelakaan tersebut juga
mengakibatkan perjalanan KRL terganggu. Seluruh KRL jurusan Jakarta – Bogor
diberhentikan di Stasiun Manggarai, Jakarta Selatan.
Pada
pukul 16.04, pihak PT.KAI melalui akun twitternya @KAI121 langsung melakukan
tindakan dengan memposting permohonan
maaf kepada penumpang KRL akibat rangkaian KRL 1156 menabrak KRL 1154 di
Stasiun Juanda. Terdapat beberapa blast twitter
dari PT KAI yang menginformasikan keadan saat itu kepada pengguna twitter.
Postingan tersebut mendapatkan respon positif dari pengguna twitter. Hal itu
juga dilakukan oleh akun twitter Info Commuter Line @CommuterLine, yang juga
menginformasikan kepada pengguna twitter mengenai evakuasi korban kecelakaan
KRL KA 1156 yang menabrak KA 1154. Pihak
Info Commuter Line juga memberikan kontak yang bisa dihubungi apabila ingin
mengetahui lebih lanjut keadaan korban dengan nomer 021-380 7777. Pada pukul 18.00 WIB gergaji mesin berhasil
melepaskan masinis dari jepitan besi –besi dan segera dilarikan ke Rumah Sakit
Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto. Kemudian pada pukul 19.00 WIB, para
petugas dari PT KCJ dan Kementerian Perhubungan berhasil mengembalikan dua
gerbong ke atas rel. Puluhan petugas menggunakan kayu broti dan dongkrak untuk
memisahkan gerbong yang ringsek. Proses evakuasi berlangsung hingga pukul 02.00
WIB.
Setelah
diselidiki oleh pihak KNKT (Komite Nasional Keselamatan Kerja), ditemukan
beberapa faktor yang menyebabkan kecelakaan tersebut bisa terjadi. Investigator
senior KNKT, Kusnandi Soeharjo mengatakan yang berkontribusi terhadap
kecelakaan KRL 1154 dan KRL 1156 yaitu reaksi dan tindakan pengereman yang
dilakukan asisten masinis KRL 1156 yang melebihi 2,5 detik, selain itu juga
karena kondisi jalur kereta api lengkung berliku. Tidak hanya itu, seperti yang
ditulis oleh Tuwo (2015), kondisi gangguan pandangan dalam kabin masinis berupa
papan penghalang sinar matahari, papan rute dan ram pengaman kaca depan yang
mengganggu pandangan masinis ke depan juga menjadi faktor selanjutnya. Tetapi,
menurut pihak KNKT dan Kementerian Perhubungan mengatakan bahwa faktor utama
kecelakaan KRL yang terjadi pada 23 September itu karena lalainya asisten
masinis yang mengendari KRL 1156. Dikutip dari Liputan6.com, Direktur Jendral
Perkeretaapian, Hermanto Dwiatmoko mengatakan bahwa asisten masinis yang
bernama Krisbanu W Anggoro melanggar rambu yang seharusnya berhenti, tetapi KRL
tetap jalan terus dengan kecepatan 30 kilometer per jam Yang lebih mengejutkan
lagi, ternyata asisten masinis tersebut belum bersertifikat Dirjen
Perkeretaapian, jadi baru belajar. Saat itu posisi Krisbanu sedang belajar
praktek menjalankan KRL 1156 dengan didampingi oleh masinis.
Triono
(2015) dari Liputan6.com menuliskan, Pada 24 September 2015, Direktur
Keselamatan PT KAI, Candra Purnama membenarkan bahwa kecelakaan KRL 1154 dan
KRL 1156 karena kelalaian dari asisten masinis. Kelalaian yang dimaksud adalaha
asisten masinis tidak memperhatikan tanda signal kuning sebelum kereta dari
Stasiun Sawah Besar tersebut memasuki Stasiun Juanda. Oleh karena itu, jelas
hasil kesalahan ada pada kru yang melakukan pelanggaran (human error). Sesuai aturan yang ada, berdasarkan tingkat kesalahan
karyawan PT KAI, maka asisten masinis tersebut akan diberikan sanksi mulai dari
sanksi administrasi hingga pemberhentian. Nanti akan diselidiki lebih lanjut.
Tabel Kronologi
Waktu
|
Penjelasan
|
23 September
2015
15.27 WIB
|
KRL KA 1154
lintas Jakarta Kota – Bogor sedang berhenti
dan dalam proses menaikkan dan menurunkan penumpang di peron dua, jalur
dua Stasiun Juanda.
|
15.30 WIB
|
Datang KRL KA
1156 dengan kecepatan 30 kilometer per jam dan menabrak dari arah belakang KA
1154 .
|
15.30 WIB
|
Terdapat 38
penumpang yang mengalami luka –luka dan seorang masinis terjepit dan tidak
ada korban jiwa. Kebanyakan penumpang mengalami luka –luka karena benturan
yang cukup keras. Ada yang patah tulang hingga kepala yang pecah akibat
kecelakaan tersebut.
|
16.00 WIB
|
Puluhan orang
yang membantu proses evakuasi dan membawa korban luka-luka sejumlah 38 orang
di tiga rumah sakit, RS Pusat Angkatan Darat (13 orang), RS Tarakan (2 orang)
dan RS Husada (23 orang).
Kecelakaan
tersebut juga mengakibatkan perjalanan KRL jurusan Jakarta – Bogor
diberhentikan di Stasiun Manggarai, Jakarta Selatan.
|
16.04 WIB –
17.08 WIB
|
Pada pukul
16.04, pihak PT.KAI melalui akun twitternya @KAI121 langsung melakukan
tindakan dengan memposting permohonan
maaf kepada penumpang KRL akibat rangkaian KRL 1156 menabrak KRL 1154 di
Stasiun Juanda. Terdapat beberapa blast
twitter dari PT KAI yang menginformasikan keadaan saat itu kepada
pengguna twitter.
|
18.00 WIB
|
Proses
evakuasi masih berjalan. Gergaji mesin berhasil melepaskan masinis dari
jepitan besi –besi dan segera dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat
Gatot Soebroto.
|
19.00 WIB
|
Para petugas
dari PT KCJ dan Kementerian Perhubungan berhasil mengembalikan dua gerbong ke
atas rel. Puluhan petugas menggunakan kayu broti dan dongkrak untuk
memisahkan gerbong yang ringsek.
|
02.00 WIB
|
Proses
evakuasi berjalan hingga pukul 02.00 pagi
|
24 September
2015
|
Pihak KNKT
(Komite Nasional Keselamatan Kerja) mengungkapkan beberapa faktor penyebab
kecelakaan KRL KA 1156 dan KA 1154. Faktor utama diakibatkan dari lalainya
asisten masinis yang mengendari KRL 1156. Asisten masinis yang bernama Krisbanu
W Anggoro, melanggar rambu yang seharusnya berhenti, tetapi KRL tetap jalan
terus dengan kecepatan 30 kilometer per jam. Kecelakaan terjadi setelah
adanya reaksi dan tindakan pengereman yang dilakukan asisten masinis KRL 1156
yang melebihi 2,5 detik.
Mengetahui
hal itu, Direktur Keselamatan PT KAI, Candra Purnama mengatakan, sesuai
aturan yang ada, berdasarkan tingkat kesalahan karyawan PT KAI, maka asisten
masinis tersebut akan diberikan sanksi mulai dari sanksi administrasi hingga
pemberhentian. Nanti akan diselidiki lebih lanjut.
|
B.
LITERATURE REVIEWS
(TEORI PR)
1.
Image
restoration Theory (Memperbaiki Citra dan Reputasi)
Strategi
image restoration merupakan strategi
komunikasi yang dilakukan oleh perusahaan untuk memperbaiki citranya atau
memulihkan citra positifnya di hadapan publik. Menurut Coombs (dalam Botan
& Hazleton, 2006) teori image
restoration merupakan teori memperbaiki citra atu reputasi yang dicetuskan
oleh William L. Benoit. Teori Image
restoration merupakan pengembangan dari konsep Apologia dan Konsep
Kategoria (Kriyantono, 2014). Menurut Blaney, Benoit, & Brazeal (dalam
Kriyantono, 2014, h. 228), “image
restoration berangkat dari dua asumsi, yaitu komunikasi yang digunakan
untuk mencapai tujuan dan tujuan pokok komunikasi, yaitu memelihara citra
positif dan reputasi positif. Tipologi dalam teori image restoration telah dikembangkan sebagai pertahanan diri baik
dalam komunikasi/retorika dan sosilogi (Benoit, dalam Kriyantono, 2012). Serangan
persuasif dalam teori ini memiliki dua hal yang penting, yaitu yang bersalah
harus menunjukan tindakan tanggung jawabnya atas kesalahan yang terjadi dan
tindakan tersebut harus dipandang sebagai serangan oleh publik.
Brinson
dan Benoit (dalam Botan & Hazleton, 2006) menjelaskan bahwa terdapat beberapa strategi dalam image restoration yaitu :
a. Denial
(strategi menyangkal)
b. Evasion of
Responsibility (strategi menghindari tanggung
jawab)
c. Reducing Offensiveness
of The Event (Strategi mengurangi serangan)
d. Corrective Action
(Tindakan korektif)
e. Mortification
(Menanggung akibat kritis)
f.
Separation
2.
Boundary
Spanning
Ruslan
(2010) dalam tulisannya menjelaskan mengenai fungsi public relations sebagai boundary spanning dalam suatu organisasi
sebagai berikut :
“Suatu
manajemen memerlukan informasi lebih akurat dan tepatsebelum membuat sebuah
kebijakan atau keputusan. Kebutuhan informasi prioritas dan terkini secara
terus menerus yang biasanya telah dipersiapkan oleh boundary spanner (pihak penyedia
atau penghubung, perantara). Boundary spanner diharapkan memiliki kemampuan
untuk berinteraksi dengan lingkungan internal dan eksternal organisasi. Hal itu
dapat diwujudkan dengan menunujuk praktisi public relations yang memiliki
kemampuan menjambatani kepentingan pihak manajemen puncak dalam pengambilan
keputusan. Selain itu juga diharapkan memiliki kemampuan untuk mengakse
sinformasi atau menyalurkan aspirasi, serta keinginan-keinginan dari
publiknya.”
Berdasarkan
penjelasan dari kutipan tokoh di atas, bahwa seorang public relations dapat memiliki strategi khusus untuk bisa menjadi boundary
spanner yang kompeten bagi perusahaannya.
Di satu sisi harus memiliki kemampuan mendapatkan informasi yang dibutuhkan perusahaan dan di sisi lain juga harus
memiliki strategi atau
langkah-langkah yang dapat direkomendasikan kepada puncak manajemen untuk mengambil keputusan strategis dalam rangka
pencapaian tujuan organisasi.
Grunig
dan Hunt (dalam Soemirat, 2011) mendefinisikan kaitan public relations sebagai boundary spanning atau yang sering disebut
juga dengan boundary manager sebagai berikut :
“Seorang
praktisi public relations dapat bertindak dapat bertindak berdasarkan apa yang
disebut sebagai boundary spanning sebagai penjabat penghubung atau penyedia
informasi yang diformalisasikan melalui saluran teknologi informasi (IT)
canggih dengan model sistem informasi menejemen yang dikelola secara cepat,
akurat, dan informatif. Selanjutnya public relations berfungsi sebagai boundary
spanner melalui pengelolaan informasi mengenai permasalahan di lingkungan
eksternal atau internal organisasi dengan cara menghimpun, menyalurkan, dan
hingga menyeleksi arus informasi terkini. Analisis secara tepat guna ke jajaran
pemimpin puncak organisasisebagai decision maker untuk menjadi dasar proses
pembuatan suatu keputusan strategis demi kepentingan organisasi atau publiknya
secara efektif dan tepat sasaran di masa mendatang.”
Menurut
Seitel dalam Ruslan (2010) mendefinisikan pengertian public relations sebagai manajer penghubung (boundary manager),
yaitu :
“Berfungsi
sebagai manajer penghubung di tepi suatu organisasi/manajemen antara organisasi
dengan publiknya, baik eksternal maupun internal. Dengan kata lain, satu
kakinya berada di dalam dan kaki lainnya berada di luar organisasi.”
Kemudian, dalam hal kemampuan Public relations sebagai boundary
spanning, Soemirat (2010) mengatakan bahwa sebagai boundary manager seorang public relations mendukung kolega mereka
dengan sokongan komunikasi yang lintas organisasional yaitu ke dalam dan luar
organisasi. Hal ini karena public
relations yang efektif didasarkan pada kemampuannya untuk bisa bersepakat
dengan banyak pihak, baik pihak eksternal maupun pihak internal (Erzikova and
Berger, 2011). Lebih lanjut dikatakan bahwa praktisi public relations harus dapat mempresentasikan tujuan dan filosofi
dari perusahaan, namun di lain pihak juga harus bisa mengintrepetasikan
keinginan atau harapan publik eksternal kepada perusahaan. Selain itu, public relations juga harus mendekatkan
diri kepada pihak koalisi dominan, yang mencakup manager dengan kekuasaan untuk
menentukan tujuan organisasi dan misi dalam membuat pilihan-pilihan strategis.
Karena public relations juga menjadi manajer system, Soemirat (2010)
menjabarkan kemampuan yang seharusnya dimiliki public relations dalam menjalankan fungsinya sebagai jembatan
informasi bagi perusahaan :
a. Public relations
harus memikirkan hubungan organisasi terhadap lingkungannya sendiri.
b. Public relations
harus bekerja sesuai dengan aturan organisasi atau perusahaan untuk
mengembangkan pemecahan yang inovatif terhadap berbagai permasalahan organisasi
c. Public relations
harus berpikir strategis, dapat menampakkan pengetahuannya tentang misi, tujuan
dan strategi organisasi/perusahaan. Solusinya harus menjawab kebutuhan nyata
organisasi.
d. Public relations
harus memiliki kemampuan mengukur hasil yang sudah diperoleh. Menyatakan dengan
jelas apa yang ingin mereka kerjakan, membuat pekerjaan secara sistematik dan mengukur
suatu keberhasilan.
Menurut
Cutlip dan Center (dalam Ruslan, 2010) proses public
relations dalam pendekatan boundary
spanner terdiri dari beberapa langkah, yaitu :
a. Fact finding
Mencari dan
mengumpulkan fakta atau data sebelum melakukan tindakan. Misalnya, public relations sebelum melakukan suatu
kegiatan harus terlebih dahulu mengetahui apa yang diperlukan publik, siapa
saja yang termasuk publik, bagaimana keadaan publik dipandang dari beberapa
faktor.
b. Planning
Berdasarkan
fakta membuat rencana tentang apa yang harus dilakukan dalam menghadapi
berbagai macam masalah itu.
c. Communicating
Rencana yang
disusun dengan baik sebagai hasil pemikiran yang matang berdasarkan fakta atau
data sebelumnya, kemudian dikomunikasikan atau dilakukan kegiatan operasional.
d. Evaluation
Mengadakan
evaluasi tentang suatu kegiatan, apakah tujuan sudah tercapai atau belum.
Evaluasi itu dapat dilakukan secara kontinyu. Hasil evaluasi ini menjadi dasar
kegiatan public relations berikutnya.
3.
Excellence Theory (Teori Excellence)
Teori
excellence berawal dari sebuah proyek
penelitian terkait Public relations
yang didanai IABC (International Association of Bussiness Communicators)
(Grunig, 1992). Grunig bersama dengan tim peneliti menemukan bahwa public relations dapat berjalan efektif
apabila menerapkan model two way
symmetric model dalam praktiknya, kemudian hasil dari penelitian Grunig dan
kawan – kawan menghasilkan teori excellence
(Kriyantono, 2014). Dengan melibatkan publik dalam aktifitas komunikasi dua
arah, maka Public relations dapat
diakatakan telah bekerja secara professional dan berkontribusi terhadap
perusahaan (Kriyantono, 2014).
Tim
excellence project mengidentifikasi
10 prinsip dalam Teori Excellence
untuk menggambarkan karakteristik PR yang baik, yaitu (Grunig (1992); Bowen
& Rawlins (2010); Kriyantono (2014) dalam Kusumaningsih (2016) :
1. Keterlibatan
Public relations dalam fungsi
manajemen strategis
Grunig (1992)
menekankan bahwa Public relations
dilibatkan dalam fungsi manajemen membuat organisasi lebih efektif melalui
upaya membangun hubungan baik melalui komunikasi antara organisasi dengan
publik, baik di lingkungan internal maupun eksternal organisasi untuk menacapai
tujuan organisasi. “Setiap pengambilan keputusan mesti mempertimbangkan sudut
pandang Public relations agar
menghasilkan kebijakan yang mencerminkan kualitas hubungan dengan publik”
(Kriyantono, 2014, h.111).
2. Pemberdayaan
Public relations dalam koalisi
dominan atau akses langsung dengan manajemen senior
Public
relations mesti mempunyai pengaruh dalam koalisi
dominan dengan mendapat akses langsung ke dalam kelompok dominan sehingga dapat
berkomunikasi langsung dengan manajer senior seperti dewan direksi, pemegang
saham dan CEO (Kriyantono, 2014). Kemudian Grunig (1992) menjelaskan bahwa
pihak eksekutif harus menyadari bahwa kontribusi Public relations dapat membantu perusahaan atau organisasi untuk
mencapai efektivitas organisasi atau perusahaan secara keseluruhan. Harus ada
pemberdayaan fungsi Public relations
untuk memberikan laporan secara langsung kepada top management, seperti hal-hal
yang melibatkan publik, nilai-nilai, dan pengambilan keputusan secara etis
(Bowen & Rawlins, 2010).
3. Fungsi
Public relations harus terintegrasi
Kriyantono
(2014) menjelaskan bahwa fungsi Public
relations dalam organisasi haruslah terintegrasi ke dalam satu departemen
sendiri dan tidak diletakkan di bawah kendali departemen lain seperti
marketing. Bowen & Rawlins (2010) menjelaskan bahwa fungsi Public relations harus terintegrasi dan
memiliki akses dan kewenangan dalam semua tingkatan dan fungsi organisasi,
fungsi Public relations tidak
terisolasi tetapi tidak bercampur dengan fungsi organisasi lainnya seperti
marketing, melainkan Public relations
harus memiliki otonomi sendiri.
4. Public relations
sebagai fungsi manajemen terpisah dengan fungsi lainnya
Dalam
organisasi atau perusahaan fungsi manajemen Public
relations terpisah dengan fungsi manajemen yang lain seperti marketing,
human resource development. Idealnya, menurut Grunig (1992) bahwa Public relations harus mempunyai
departemen sendiri yang menjadi bagian dari manajemen strategis, sehingga Public relations dapat langsung
memberikan masukan kepada manajer senior atau para pengambil kebijakan tentang
stakeholder di lingkungan organisasi atau perusahaan.
5. Unit
Public relations dipimpin seorang
manajer bukan teknisi
Unit Public relations haruslah dipimipin
seorang Public relations yang
professional dan memiliki kemampuan manajerial, bukan yang hanya mahir secara
teknis. Kriyantono (2014) mengatakan “manajer Public relations haruslah seorang yang bercirikan manajer
komunikasi bukan teknisi komunikasi. Dan program-program Public relations dapat dikelola dengan strategis, karena tanpa
adanya seorang manajer yang mengelola fungsi Public relations, kemungkinan fungsi Public relations akan terkesampingkan dan hanya sebatas hubungan
dengan media daripada fungsi manajemen yang sesungguhnya (Bowen & Rawlins,
2010).
6. Menerapakan
model Public relations simetris dua
arah atau mixed motive
Public
relations “mengadopsi model two way symmetric
sebagai basis utama menjalin relasi publik” (Kriyantono, 2014, h.111). Hal ini
karena model simetris menerapkan dialog antara organisasi atau perusahaan
dengan publiknya yang didasari oleh sebuah pendekatan telah terbukti efektif
untuk pencegahan masalah, penyelesaian masalah, dan untuk membangun serta
mempertahankan hubungan dengan publik (Bowen & Rawlins, 2010) “tetapi
dimungkinkan memadukannya dengan two way asymmetric (mixed-motives)”
(Kriyantono, 2014, h.111).
7. Departemen
dengan dasar pengetahuan diperlukan untuk praktik peran manajerial dalam Public relations simetris
Departemen Public relations yang baik haruslah
memiliki anggota Public relations
yang memiliki pengetahuan tentang Public
relations, karena hal ini akan berguna untuk mengelola hubungan dengan
publik organisasi atau perusahaan secara simetris (Bowen & Rawlins, 2010).
Fungsi Public relations model
symmetric, peran manajerial, pelatihan akademik Public relations, dan profesionalitas dilaksanakan dengan dasar
ilmu pengetahuan yang mumpuni tentang bagaimana peran manajerial dalam sistem
symmetric (Kriyantono, 2014).
8. Sistem
komunikasi internal yang simetris
Sistem
komunikasi internal yang simetris “berupa desentralisasi struktur yang menjamin
otonomi antarbagian, ada dialog dua arah, dan memberi peluang anggota
organisasi terlibat dalam mekanisme pengambilan keputusan” (Kriyantono, 2014,
h.111). Sistem komunikasi internal yang simetris dan dialogis diperlukan untuk
membangun kerjasama tim, meningkatkan semangat kerja karyawan, meningkatkan
kepuasan kerja karyawan, dan menurunkan tingkat pergantian karyawan (Bowen
& Rawlins, 2010). Dengan menerapkan sistem komunikasi internal yang
simetris akan memungkinkan manajer Public
relations untuk mengidentifikasi isu atau masalah yang ada sejak dini
sehingga dapat ditangani sebelum semakin meluas (Kusumaningsih, 2016)
9. Keanekaragaman
diwujudkan dalam semua peran
“Public relations yang excellence memberi peluang terjadinya
harmonisasi multikultur dan menghindarkan dari diskriminasi gender, ras, etnis
maupun latar belakang” (Kriyantono, 2014, h.112). Kemudian Grunig (1992)
menyatakan penting bagi departemen Public
relations mengedepankan profesionalitas dalam menyikapi keberagaman yang
terdapat dalam organisasi. Dengan demikian, maka setiap keputusan yang diambil
akan memunculkan ide yang beragam dari berbagai sudut pandang yang berbeda
sehingga dapat mewakili organisasi secara objektif. (Bowen & Rawlins, 2010)
10. Beretika
dan memiliki tanggung jawab sosial.
Dalam
menjalankan fungsinya, praktisi atau manajer Public relations harus mengedepankan kode etik dan integritas
profesi (Kriyantono, 2014). Menurut Bowen & Rawlins (2010) etika menjadi
faktor penting dalam pengambilan keputusan, sehingga akan mengarahkan pada
efektivitas organisasi ke tingkat yang lebih tinggi. Aspek etika penting untuk
direncanakan, dilatih, ditanamkan, serta diterapkan oleh seluruh anggota
anggota organisasi (Kusumaningsih, 2016).
4.
Situational Theory of
the Public
James
E. Grunig adalah penggagas Situational Theory of the Public yang merupakan
seorang profesor Public relations
dari University of Marrylan. Teori ini dapat digunakan praktisi Public relations untuk mengidentifikasi
dan mengelompokkan publik berdasarkan persepsi, sikap, dan perilaku publik
terhadap organisasi, baik terhadap programnya, produknya, maupun ketika terjadi
situasi krisis (Kriyantono, 2014). Teori situasional juga dapat dimaknai
sebagai situasi yang nantinya akan menentukan sebuah hubungan (Oliver, 2007).
Lattimore,
Baskin, Heiman, & Toth (2010, h. 55) menjelaskan bahwa di dalam Situational
Theory of the Public juga membantu menjelaskan mengapa sekelompok orang aktif pada
isu tertentu, yang lainnya aktif dalam banyak isu, sememtara yang lain bersikap
apatis. Seorang praktisi Public relations
seharusnya dapat merencanakan strategi komunikasi dengan lebih akurat apabila
mengetahui seberapa aktif stakeholder publik mereka dalam mencari informasi.
Menurut
Grunig (dalam Kriyantono, 2014, h. 153) Situational
Theory of the Public mempunyai beberapa asumsi dasar, yaitu:
a. Individu
yang berbeda diasumsikan mempunyai perilaku yang lebih konsisten dan cenderung
sama jika mereka berada pada situasi yang sama.
b. Persepsi
seseorang pada suatu situasi akan menentukan kapan, mengapa dan bagaimana cara
dia merespons serta mengkomunikasikan situasi tersebut.
c. Setiap
individu berusaha beradaptasi dengan suatu situasi yang menurut persepsinya sesuai
dengan karakteristik situasi tersebut.
d. Publik
bersifat situasional tergantung pada situasi yang dihadapi.
e. Karena bersifat situasional, masalah atau isu
bersifat dinamis, maka publik pun bersifat dinamis.
Mengenai
publik, Dewey mengatakan bahwa publik mengalami perkembangan berdasarkan tiga
aspek, yaitu aspek munculnya masalah, aspek kesadaran akan masalah, dan aspek
bentuk-bentuk respons terhadap masalah itu. Lalu selanjutnya Grunig (1979)
membagi populasi umum (stakeholder)
menjadi tiga macam tipe publik, yaitu:
a. Latent public
(publik tersembunyi) adalah sekelompok orang yang memiliki masalah yang sama
namun tidak dapat mengidentifikasi atau tidak menyadari sehingga tidak
memberikan respons.
b. Aware public
(publik teridentifikasi) adalah sekelompok yang kemudian dapat menyadari dan
mengidentifikasi suatu permasalahan (isu).
c. Active public
(public aktif) adalah sekelompok orang yang mengidentifikasi dan merespons
permasalahan dengan mengeluarkan opini atau melakukan aksi-aksi tertentu.
Kriyantono
(2014, h. 155) menjelaskan bahwa berdasarkan sifat situasional publik, terdapat
beberapa kategori public, yaitu:
a. All issue public,
yaitu publik yang aktif pada semua masalah yang terjadi
b. Apathetic public,
yaitu publik yang tidak menaruh perhatian pada masalah yang terjadi.
c. Single-issue public,
yaitu publik yang aktif pada satu atau bagian kecil dari suatu masalah.
d. Hot-issue
public, yaitu publik yang hanya aktif pada satu masalah yang mempunyai
pengaruh besar dari populasi dan
mendapatkan pemberitaan besar di media.
C.
ANALISIS
1.
Analisis
Penanganan Kasus Kecelakaan KRL Lintas Jakarta – Bogor September 2015 dengan Image Restoration Theory
Krisis
kecelakaan yang menimpa PT KCJ disebabkan oleh faktor human error. Penyebab
kecelakaan adalah reaksi dan tindakan pengereman yang dilakukan oleh asisten
masinis KRL 1156 yang melebihi 2,5 detik dan kondisi jalur kereta api yang
lengkung berliku. Maka krisis yang terjadi pada PT Kereta Commuter Jabodetabek
disebabkan oleh faktor pelayanan jasa yang kurang sempurna. Semenjak kecelakaan
tersebut terjadi, banyak dari kalangan masyarakat yang meminta agar PT KAI
lebih memperhatikan mengenai keselamatan penumpangnya. Dilihat Dari alur
kronologis di atas, untuk merestorasi citranya pihak divisi public relations PT KCJ melakukan
beberapa strategi image restoration. Yang pertama adalah mortification atau permintaan maaf. Ketika mengalami krisis, permintaan maaf
adalah hal yang sangat penting untuk menunjukan sebuah penyesalan tas kerugian
–kerugian yang ditimbulkan akibat kecelakaan tersebut. Terlihat pada pukul
16.04 WIB – 17. 08 WIB, kedua pihak (baik PT KAI maupun PT KCJ) langsung
menyampaikan permintaan maafnya melalui akun twitter masing-masing.
Sumber
: kompas.com
Sumber
: kompas.com
(postingan
twitter permintaan maf &
penjelasan dari PT KAI & PT KCJ)
Tidak
hanya itu, puluhan petugas bekerja sama melakukan evakuasi para penumpang dan
korban kecelakaan KRL, kemudian melakukan evakuasi korban yang masih dapat
diberikan pertolongan pertama di stasiun dan yang harus dibawa ke rumah sakit,
serta evakuasi masinis yang terjepit di gerbong kereta. Implementasi program
pengendalian yang diterapkan oleh divisi Public
relations PT KAI Commuter Jabodetabek yaitu membayar seluruh biaya
pengobatan korban kecelakaan yang telah diasuransikan Jasa Raharja dan Jasa
Raharja Putra serta melibatkan perusahaan induk, PT KAI, untuk menyelesaikan
krisis kecelakaan KRL.
Strategi
yang kedua yaitu corrective action
(tindakan korektif), yaitu perusahaan berusaha memeprbaiki dan berjanji untuk
mencegah pengulangan kejadian kecelakaan. Strategi ini dilakukan PT KCJ dengan
cara lebih menekanan nilai kedisiplinan dan kepatuhan pegawai terutama yang
berhubungan langsung dengan operasional, yatiu masinis. PT KCJ juga
mengupayakan diberlakukannya sebuah sistem baru yang bertujuan untuk menekan
angka kecelakaan. Selain daripada itu, upaya antisispasi dilakukan oleh PT KCJ
yakni akan memasang automatic train stop yang fungsinya adalah memberhentikan
kereta dengan sistem. Rencana pemasangan automatic train stop terlebih dahulu
akan dilakukan di Stasiun Juanda dan Stasiun Sawah besar, namun kedepannya akan
dipasang juga di beberapa titik stasiun yang berpotensi ada kerawanan serupa.
Berikut salah satu bukti dari PT KAI yang sudah melakukan tindakan korektif
dengan memperbaiki fasilitas yang ada :
sumber :
krl.co.id (bukti dari adanya perbaikan fasislitas yang dilakukan PT KAI
(Strategi yang kedua yaitu corrective
action (tindakan korektif)
2.
Analisis
Penanganan Kasus Kecelakaan KRL Lintas
Jakarta – Bogor September 2. 2015 dengan Excellence
Theory (Teori Excellnce)
Pada
kasus kecelakaan KRL lintas Jakarta – Bogor September 2015, pihak Public
Relation dari PT KCJ maupun PT KAI sudah menerapkan two-way symmetric dalam
mengkomunikasikan kejadian kecelakaan KRL ini, bahkan pihak public relations PT KCJ dapat dikatakan
sudah sangat tanggap. Hal ini terlihat dari penyampaian informasi yang
diberikan kepada masyarakat, dilakukan oleh PT KAI & PT KCJ. Keduanya tidak
hanya memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kecelakaan KRL KA 1156
dan KA 1154, tetapi juga memberikan pelayanan telfon untuk mengetahui lebih
tentang kecelakaan tersebut. Selain itu PT KAI juga menjelaskan bahwa semua
korban sudah langsung ditangani. Hal itu tentu membuat kepercayaan masyarakat tetap terjaga di
tengah berita yang sedang ramai dibicarakan hari itu.
Sumber : kompas.com
(postingan dari PT
KCJ yang memberikan no.telfon pelayanan kepada
masyakarakat mengenai
data korban kecelakaan KRL KA 1154 dengan KA 1156)
Kemudian
dilihat dari stakeholder stage sebagai salah satu model manajemen strategis Public relations, pihak public relations PT KCJ telah memahami
kondisi publiknya, bahwa jika terdapat informasi yang berbeda atau terlalu
banyak informasi yang simpang siur, maka publik akan ramai dan kemungkinan untuk
terjadi konflik. Sehingga pihak PT KCJ langsung melakukan koordinasi dengan
unit keselamatan, unit kesehatan, dan unit pelayanan pelanggan Sedangkan dari
divisi Public relations
berkonsentrasi dalam mencari informasi yang akurat terkait kecelakaan dari
pihak internal perusahaan. Dalam tahapan ini, untuk mencegah krisis menyebar
luas, dalam 24 jam pertama, dengan sigap PT KCJ membentuk tim krisis, yang
termasuk didalamnya adalah unit kesehatan, unit pelayanan pelanggan dan unit
keselamatan, dan divisi Public relations.
Adapun tim yang terbentuk merupakan tim yang berasal dari pihak internal
perusahaan.
Unit-unit
tersebut berperan sebagai pelaksana dalam mengatur dan mengendalikan krisis.
Setelah mendapatkan informasi yang akurat akurat, PT KCJ segera menggelar
konferensi pers, satu hari setelah kecelakaan terjadi di Jakarta Railway Center
(JRC) mengenai informasi terkait kecelakaan yang terjadi di Stasiun Juanda Hal
tersebut juga merupakan aksi yang menunjukkan bahwa perusahaan cukup cepat
dalam memberi statement kepada masyarakat. Hal ini dilakukan dalam tujuan
berusaha mengurangi dampak negative yang di timbulkan dan berusaha memperbaiki
citra positif PT KCJ dan PT KAI.
sumber :
Tempo.com
(kalimat yang penulis bold
adalah hasil wawancara dari konferensi pers yang dilakukan pihak PT KAI sebagai
salah satu strategi yang dilakukan PR PT KAI yang dilakukan sehari setelah
kejadian)
Dilihat dari stakeholder stage
sebagai salah satu model manajemen strategis Public relations, pihak PT KAI telah memahami kondisi publiknya,
bahwa jika terdapat informasi yang berbeda atau terlalu banyak informasi yang
simpang siur, maka publik akan ramai dan kemungkinan untuk terjadi konflik. Hal
ini karena memang peran Public relations
sangat dibutuhkan sebagai jembatan informasi antara perusahaan dengan publik
serta senantiasa memperbaharui perkembangan informasi yang terjadi baik
dilokasi kejadian maupun informasi mengenai para korban kecelakaan. Sehingga pihak
public relations dari PT KAI memutuskan untuk menggunakan informasi yang
terpusat. Hal ini dikuatkan dengan penjelasan dari stakeholder stage bahwa public relations memonitoring keadaan
lingkungan dan aktivitas organisasi dan mengidentifikasi pengaruh yang mungkin
terjadi.
3.
Analisis
Penanganan Kasus Kecelakaan KRL Lintas Jakarta – Bogor September 2015 dengan Boundary Spanning
Pada
kasus kecelakaan KRL Lintas Jakarta – Bogor bulan September 2015, praktisi public relations dari PT KAI dan KCJ dianggap
sudah berhasil dalam menjaga hubungan baik dengan publik, khusunya penumpang
KRL. Hal ini tentu berdampak baik bagi reputasi PT KAI dan PT KCJ. Seperti yang
dijelaskan oleh Kreps (dalam kriyantono, 2014) bahwa pada hakekatnya interaksi
antar bagian dalam organisasi baik internal maupun eksternal dilakukan untuk beradaptasi dengan
lingkungannya dan keberhasilan dalam beradaptasi inilah yang akan menentukan
pencapaian tujuan dari organisasi. Kualitas adaptasi ditentukan oleh beberapa
bagian kunci dalam organisasi, seperti individu, struktur, dan kelompok
fungsional, dan teknologi atau peralatan.
Hal
ini bisa dilihat dari upaya pihak public
relations PT KAI dan PT KCJ dalam menerapkan fungsi public relations sebagai boundary
spanning dengan membuat media sosial (,Twitter).
Hal ini ditujukan agar penyebaran informasi dapat mengalir dengan lancar dan
menghindari tersumbatnya jalur informasi baik internal organisasi maupun
organisasi dengan publiknya. Platform seperti twitter juga memberi kesempatan kepada perusahaan untuk berdialog
secara langsung dan memberikan akses informasi terbaru kepada konsumen. Dalam
penerapannya, Kriyantono (2014) menjelaskan bahwa dalam melaksanakan aktivitas boundary spanning praktisi public relations haruslah menjadi bagian
dari dominant-coalition. Artinya,
divisi public relations harus
mempunyai jalur komando langsung ke manajemen puncak, sehingga informasi dan
masukan – masukan yang disampaikan praktisi PR bersifat tidak dibatasi, tidak
disensor, dan tidak dikurangi namun setiap informasi yang disampaikan tetap
dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini terbukti
adanya pengaruh besar dari divisi public
relations dibantu dengan
Dalam
aspek kecepatan merespon review Grogan-Morgan, pihak PT KAI dan PT KCJ tidak
membutuhkan waktu yang lama. Sehingga,satu hari setelah terjadi keeclakaan,
keadaan dapat segera teratasi & jalur KRL sudah kembali normal. Berikut
penulis lampirkan dua berita yang menjadi bukti berhasilnya penerapan teori
boundary spanning pada kasus kecelakaan KRL lintas Jakarta – Bogor :
Sumber :
viva.co.id
Sumber : sindonews.com
(Dua berita
diatas merupakan salah satu bukti dari cepat tanggapnya public relations PT KAI dalam menghadapi berita mengenai kasus
kecelakaan)
4.
Analisis
Analisis Penanganan Kasus Kecelakaan KRL Lintas Jakarta – Bogor September 2015
dengan Situational Theory
Menurut
penulis, tipe publik dalam kasus kecelakaan KRL ini terbagi menjadi dua, yaitu
masyarakat yang tergolong ke dalam aware
public karena mereka sadar bahwa hal ini merupakan masalah yang serius dan
mengancam keselamatan penumpang KRL. Hal
ini terlihat dari banyaknya yang segera meminta untuk adanya perbaikan
pelayanan dari PT KAI untuk lebih menjamin keselamatan masyarakat pengguna
transpotasi umum seperti KRL.
Dalam
sosial media facebook, terdapat satu
akun yang mewakili suara masyarakat atau publik megenai KRL, baik itu
pemberitaan mengenai KRL, pendapat masyarakat tentang pelayanan KRL semuanya
ada disitu dan akun tersebut sudah berdiri sejak tahun 2013. Tidak hanya di facebook, terdapat beberapa masyarakat
yng sudah menuliskan opininya mnegenai pelayanan KRL semenjak terjadi
kecelakaan KRL lintas Jakarta – bogor pada bulan September 2015 lalu. Dengan begitu, dalam teori ini masyarakat
sudah tergolong pada active public karena
adanya respons berupa aksi langsung. Stakeholder
dari PT KAI yaitu penumpang KRL,
merupakan active public karena adanya
meeting secara virtual untuk
menanggapi dan mengindari kejadian tersebut di kemudian hari.
Sumber :
facebook.com (salah satu akun facebook yang berisi opini masyarakat/ informasi
apapun mengenai KRL terutama di Jabodetabek)
sumber :
detiknews.com (salah satu opini dari masyarakat (Agus Pambagio) mengenai
evaluasi peran kereta Komuter Jabodetabek)
Perilaku stakeholder dalam kasus ini yaitu
masyarakat sudah berperan aktif dalam memberikan pendapat dari kasu ini melalui
portal berita online atau akun sosial media mereka (info seeking), sedangkan bagi masyarakat awam yang terkena efek
dari pemberitaan media, mereka mendapatkan informasi mengenai kasus ini tanpa
dengan sengaja mencari informasi tersebut (info
processing). Dalam hal ini, perilaku publik sangat dipengaruhi dengan
informasi yang diberitakan oleh media. Selain itu, sifat hukum yang independent juga tidak dapat ditinjau
lebih jauh oleh masyarakat.
Pada bagian Goal Compatibility, dapat dilihat jika
masyarakat memiliki peran aktif untuk mengikuti kasus ini dikarenakan adanya
kesamaan tujuan yaitu meminta perbaikan pelayanan PT KAI. Perilaku masyarakat
akhirnya menjadi info seeking yaitu mencari informasi
sebanyak-banyaknya terkait kasus ini. Variabel ini dapat digunakan untuk
mengevaluasi seberapa besar strategi public
relations dapat memengaruhi atribusi publik.
D.
KESIMPULAN
Dari
paparan di atas, dapat dikatakan teori dalam public relations saling berkaitan antara satu dengan lainnya,
meskipun tidak semua teori. Dari kasus kecelakaan KRL Lintas Jakarta Bogor,
dalam penangannya public relations PT
KAI dan PT KAI secara umum sudah melaksanakan tugasnya dengan benar. Dari teori
image restoration, terlihat public
relations setelah ada kasusu tersebut langsung menggunakan dua strategi,
yang pertama adalah mortification atau
permintaan maaf. Pada hari itu juga
melalui sosial media twitter dan besoknya melakukan conferensi pers. Strategi
yang kedua yaitu corrective action (tindakan korektif), yaitu perusahaan berusaha
memeprbaiki dan berjanji untuk mencegah pengulangan kejadian kecelakaan.
Dari
Teori excellence, pihak Public
Relation dari PT KCJ maupun PT KAI sudah menerapkan two-way symmetric dalam
mengkomunikasikan kejadian kecelakaan KRL ini, bahkan pihak public relations PT KCJ dapat dikatakan
sudah sangat tanggap. Hal ini terlihat dari penyampaian informasi yang
diberikan kepada masyarakat Kemudian dilihat dari stakeholder stage sebagai
salah satu model manajemen strategis Public
relations, pihak public relations
PT KCJ telah memahami kondisi publiknya, bahwa jika terdapat informasi yang
berbeda atau terlalu banyak informasi yang simpang siur, maka publik akan ramai
dan kemungkinan untuk terjadi konflik. Sehingga pihak PT KCJ langsung melakukan
koordinasi dengan unit keselamatan, unit kesehatan, dan unit pelayanan
pelanggan Sedangkan dari divisi Public
relations berkonsentrasi dalam mencari informasi yang akurat terkait
kecelakaan dari pihak internal perusahaan (dominan
coalition).
Pada
boundary spanning, pihak Public relations
sudah menerapkannya, salah satunya dengan dengan membuat media sosial (,Twitter). Hal ini ditujukan agar
penyebaran informasi dapat mengalir dengan lancar dan menghindari tersumbatnya
jalur informasi baik internal organisasi maupun organisasi dengan publiknya.
Pada stakeholder, publik juga sudah berperan aktif dalam menanggapi kasus
kecelakaan KRL Lintas Jakarta Bogor ini karena sudah memiliki kaun sosial media
dan juga sudah bisa menuliskan pendapatnya di portal berita online, sehingga
berpengaruh pada kesediaan PT KAI untuk sellau memperbaiki fasilitas dan
keselamatan penumpangnya.
DAFTAR PUSTAKA
Botan,
C.H., & Hazleton, V. (2006). Public
relations theory II. New York : Lawrence Erlbaum Associates.
Bowen,
S., Rawlins, B., & Martin, T. (2010). Best
practice for excellence in Public relations from overview of the Public
relations function. Harvard: Harvard Business Publishing.
Erzikova,
E. & Berger, B. K. (2011). Creativity vs ethics: russian and u.s. Public relations student' perception of
professional leadership and leader. Public
relations Journal, 5(3), 1-24.
Grunig,
J. E. (1992). Excellence in Public
relations and communications management. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Kriyantono,
R. (2012). Public relations & krisis
managemen : Pendekatan critical Public relations etnografi kritis &
kualitatif. Jakarta : Prenada Media Group.
Kriyantono,
R. (2014). Teori Public relations
perspektif barat & local. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Kusumaningsih,
I. (2016). James E Grunig dan kiprahnya
dalam perkembangan Public relations (Studi literatur pemikiran James E. Grunig
terkait pengembangan teori excellence Public relations dan kritik terhadap
penerapannya. (Skripsi, Universitas Brawijaya, 2016).
Ruslan,
R. (2010). Manajemen Public relations dan
media komunikasi: konsepsi dan aplikasi. Jakarta: RajaGrafindo.
Soemirat,
S. (2010). Dasar dasar Public relations.
Bandung : Rosdakarya.
Sumber
Berita :
Andi, G.
(2015, September 24). Terungkap : Penyebab KRL Seruduk di Stasiun Juanda. Tempo.com. Diakses dari https://m.tempo.co/read/news/2015/09/24/064703567/terungkap-penyebab-krl-seruduk-krl-di-stasiun-juanda
Arjawinangun,
B. (2015, September 24). Evakuasi Selesai, Perjalanan Commuter Line Kembali
Normal. Sindonews.com. Diakses dari
http://metro.sindonews.com/read/1047682/170/evakuasi-selesai-perjalanan-commuter-line-kembali-normal-1443066876
Andriyanto,
S (2015, September 25). Polda Metro Jaya olah KTP tabrakan KRL Stasiun Juanda. Liputan6.com. Diakses dari http://news.liputan6.com/read/2325415/polda-metro-jaya-olah-tkp-tabrakan-krl-di-stasiun-juanda.
Kurniawan,
M., & Ratih, P. (2015, September 23). Kecelakaan KRL di Stasiun Juanda,
evakuasi hingga pukul 02.00 . Kompas.com.
Diakses dari http://print.kompas.com/baca/metropolitan/2015/09/23/Kecelakaan-KRL-di-Stasiun-Juanda%2c-Evakuasi-Hingga.
Lestari,
D. (2015, September 24). Hari Ini Jalur Rel KRL Jakarta Kembali Normal. Viva.co.id. Diakses dari
http://metro.news.viva.co.id/news/read/678329-hari-ini-jalur-rel-krl-jakarta-kembali-normal
Pambagio,
A. (2015, Agustus 03). Evaluasi Peran Kereta Komuter Jabodetabek. Detik.com. Diakses dari
http://news.detik.com/kolom/2981453/evaluasi-peran-kereta-komuter-jabodetabek.
Praditya,
I.I. (2015, Oktober 01). Insiden KRL Juanda disebabkan asisten masinis tak
bersetifikat. Liputan6.com. Diakses
dari http://news.liputan6.com/read/2330242/insiden-krl-juanda-disebabkan-asisten-masinis-tak-bersertifikat.
Sulistyawaty,
A.R. (2015, Desember 29). KNKT : Masinis hingga regulasi pengaruhi tabrakan KRL
di Stasiun Juanda. Kompas.com.
diakses dari http://print.kompas.com/baca/metropolitan/2015/12/29/KNKT-Masinis-hingga-Regulasi-Pengaruhi-Tabrakan-KR?utm_source=bacajuga
Wildan, U. (2015, Desember 21). PT KCJ dan PT
KAI Bangun Fasilitas Keselmatan Pengguna KRL dan Perluas Stasiun Untuk Dukung
Integrasi Antar Moda. Krl.co.id.
Diakses dari http://www.krl.co.id/pt-kcj-dan-pt-kai-bangun-fasilitas-keselamatan-pengguna-krl-dan-perluas-hall-stasiun-untuk-dukung-integrasi-antar-moda/
Comments
Post a Comment