ANALISIS TAHAPAN ISU & KRISIS YANG TERJADI PADA KASUS ARLA FOODS : TAHUN 2005 - 2006
DIAN ARTIKA
(145120201111077)
PENDAHULUAN
Isu dalam sebuah perusahaan bisa muncul karena adanya
ketidaksesuaian antara harapan publik dengan organisasi atau perusahaan.
Apabila dibiarkan, isu dapat menjadi krisis dan dapat merugikan organisasi itu
sendiri. Chase (dalam Kriyantono, 2015) mendefinisikan isu sebagai “an
unsettled matter which is ready for decision”. Isu sebagai permasalahan yang
belum terselesaikan, sehingga perlu adanya keputusan cepat mengatasinya. Serupa
dengan pendapat diatas, Prayudi (2007) juga menuliskan bahwa isu muncul dan
berkembang ketika ada perubahan, disharmoni atau ketidaksesuaian antara
lingkungan atau pengharapan publik dengan organisasi. Hal itu menjadi titik
balik (turning point) bagi pihak
manajemen organisasi untuk mengidentifikasi yang kemudian merespon isu dan
menjadikannya sebagai keuntungan bagi organisasi.
Dalam kasus Arla Foods ini,
media juga cukup memiliki peran yang penting. Sudah menjadi suatu berita yang
umum ketika media lebih sering mengangkat suatu masalah yang bersifat
kontroversial, ataupun hal-hal buruk yang sedang menimpa seorang tokoh, sebuah
organisasi atau perusahaan dan mengandung unsur adu domba antar etnis,ras
ataupun agama. Tujuan analisis kasus ini untuk mengetahui apa yang menjadi
penyebab Arla Foods di boykot hingga akhirnya mengalami kerugian yang sangat
banyak dan menganalisis kasus Arla Foods ini berdasarkan tahapan perkembangan isu & krisis.
DESKRIPSI
KASUS
Arla Foods merupakan produsen
makanan kebutuhan sehari-hari terbesar di Skandinavia yang berpusat di Arhus,
Denmark yang dimiliki oleh 11.000 petani Denmark dan Swedia. Tetapi suatu hari,
masalah besar menimpa perusahaan yang sudah memiliki pasar yang besar di Timur
Tengah ini. Produknya mengalami penurunan penjualan yang sangat drastis setelah
adanya penanyangan gambar kartun yang menghina Nabi Muhammad SAW pada 30
September 2005 yang dilakukan oleh Jyllands-Posten, salah satu surat kabar di
Denmark. Surat kabar tersebut menerbitkan 12 kartun editorial yang
menggambarkan karikatur Nabi Muhammad SAW. Hal tersebut dianggap sebagai upaya
untuk berkontribusi ditengah perdebatan dunia tentang islamophobia dan rasis. Pada bulan Oktober 2005 dan Februari 2006,
kasus ini diperparah dengan adanya pencetakan ulang kartun pada beberapa surat
kabar besar di beberapa negara, seperti Norwegia. Hal ini tentu menimbulkan protes dari umat Islam dan
dianggap sudah melecehkan islam. Publik tentunya sangat kecewa terutama umat
Muslim yang berada di Timur Tengah dan Saudi Arabia yang telah menjadi pasar
terbesar produk dari Denmark, yaitu Arla Foods..
Segera setelah kartun Nabi
Muhammad SAW tersebar luas, duta besar dari negara-negara dengan penduduk
mayoritas Muslim meminta diadakan pertemuan dengan perdana menteri Denmark
untuk membahas publikasi kartun tersebut. Sayangnya, pemerintah Denmark menolak
pertemuan tersebut dan mengatakan bahwa itu tidak mungkin berpengaruh terhadap
pers. Pada tanggal 20 Januari 2006, tokoh politik dan agama Arab Saudi
menyerukan pemboikotan terhadap produk-produk Denmark. Hal ini lah yang
kemudian memicu isu mengenai Arla Foods. Hal ini teradi karena adanya
ketidaksesuaian antara harapan publik dengan kebijakan serta komitmen
perusahaan. Arla menanggapi dengan memasang iklan di koran Saudi bahwa mereka
tidak ada keterkaitan dengan publikasi kartun tersebut meskipun pada akhirnya tidak
membantu.
Pada tanggal 27 Januari,
Konfederasi Industri Denmark menghimbau Jyllands-Posten untuk mencetak
permintaan maaf karena telah melakukan publikasi kartun Nabi yang mereka lakukan.
Surat kabar itu menerbitkan dua surat terbuka di website resminya, salah
satunya berisi permintaan maaf. Pada akhir Januari, Arla Foods mengatakan telah
terjadi pemboykotan produknya secara besar – besaran dari masyarakat Timur
Tengah. “Kami menemukan diri kami menjadi bagian dari sebuah games yang
sebenarnya kami tidak terlibat dalam itu. Hal ini lebih menyulitkan untuk
mendapatkan kepercayaan lagi dari muslim customers. Kami membangun perusahaan
ini selama 40 tahun dan perusahaan ini hancur hanya dalam waktu 5 hari.”
Pada 1 Maret, Arla
memperkirakan kerugian akibat boikot mencapai US$64juta. Namun Arla Foods tetap
berusaha untuk mengembalikan namanya dengan mulai memasarkan produknya kembali di
Timur Tengah. Caranaya dengan menampilkan iklan sehalaman penuh di 25 koran
Arab. Perusahaan tersebut juga mengatakan akan memberikan sponsor untuk
kemanusiaan di regional tersebut. Meskipun perkembangan penjualan produk Arla
berjalan lambat, namun hal tersebut membuktikan bahwa kostumer ingin membeli
produk mereka.
ANALISIS
KASUS
Di dalam dunia kerja,
sangatlah penting bagi public relations
untuk untuk mengetahui perbedaan antara isu dan krisis. Ruslan (1999)
menyatakan beberapa contoh peristiwa yang berperan menjadi krisis, salah
satunya adalah peristiwa menakutkan yang disebabkan oleh masalah SARA.
Peristiwa boikot yang dialami oleh Arla Foods ini merupakan peristiwa yang
disebabkan oleh isu SARA. Masyarakat Timur Tengah yang memang mayoritas
penduduknya adalah orang muslim menganggap bahwa kartun yang diterbitkan oleh
Jyllands-Posten telah melecehkan Nabi Muhammad. Hal tersebut menimbulkan
persepsi publik yang negatif terhadap negara Denmark. Sehingga Arla Foods ikut
terserat dan menerima dampak yang cukup buruk karena produknya berasal dari
Negara Denmark. Meskipun sebenarnya Arla Foods tidak terlibat dalam kasus
penerbitan kartun tersebut.
Di dalam isu, terdapat
beberapa tahap perkembangannya (Regester & Lankin, dalam Kriyantono, 2015)
:
1. Tahap Origin
Pada
tahap ini, publik merasa adanya kesenjangan antara harapan dengan kenyataan
yang ada di lapangan. Keadaan ini juga dipicu oleh adanya tanggapan dari
berbagai pihak (pakar, akademisi, LSM) yang memberikan perhatian lebih terhadap
sebuah kasus sehingga menuntut adanya respon dari organisasi atau perusahaan
yang bersangkutan. Pada kasus Arla Foods, harapan masyarakat tentunya hidup
dalam keadaan yang damai, menjunjung tinggi nilai toleransi agama. Tetapi pada
kenyataannya isu – isu mengenai sara dan islamphobia masih saja dibangun dan
disebarkan melalui berbagai cara, salah satunya dengan meyebarkan kartun Nabi
Muhammad SAW melalui media cetak.
2. Tahap Mediation and
Amplifications
Setelah
isu itu berkembang, publik mulai berani untuk mendebat secara terbuka di ranah
publik dan tekanan – tekanan mulai dirasakan oleh perusahaan atau organisasi.
Tahap inilah yang dinamakan mediation and ampilification. Hal ini bisa terjadi
karena sekelompok orang yang mempunyai pandangan yang sama, mereka saling
bertukar pikiran. Pada tahap itulah isu mulai tersebar lebih luas. Tetapi
menurut Harrison (dalam Kriyantono, 2015), perdebatan bisa saja muncul ketika
beberapa stakeholder yang ingin
menciptakan kepentingan isu untuk melawan kebijakan dari pemerintah
3. Tahap Organization
Seperti
organisasi. Pada tahap ini publik sudah dapat mullai meongorganisasikan diri
dan membetuk jaringan – jaringan. Pada tahap ini terjadi seperti pertarungan
wacana kepentingan, sehingga masyarakat luas merasa telah terjadi konflik.
Kasus Arla Foods mengalami di tahap ini pada saat pemerintah menyerukan boikot
terhadap produk dari Denmark. Sementara itu, critical stage pada tahap ini terjadi ketika masyarakat terbagi
menjadi dua kelompok, ada yang mendukung dan menentang. Karena itu, seorang public relations diharapkan mampu
memberikan informasi yang terbuka, jelas dan jujur kepada media massa dan
diharapkan mampu membangun relasi baik terhadap media massa.
4. Tahap Resolution
Isu
sudah melewati tahap siklus perkembangannya dan organisasi telah melewatinya
meskipun membutuhkan energy yang cukup besar, waktu yang lama dan biaya yang
tidak sedikit. Arla Foods menggunakan stategi dengan membuat iklan penuh di
surat kabar Arab Saudi yang menyatakan bahwa Arla tidak mendukung dan tidak
terlibat dalam penerbitan kartun tersebut yang dilakukan oleh Jyllands-Poston.
Tidak hanya itu, Arla Foods juga mendukung kegiatan kemanusiaan pada wilayah
tersebut. Arla Foods terus berusaha menciptatakan dan berkomitmen untuk
pemasaran ulang di Timur Tengah setelah mengalami penurunan penjualan yang
cukup drastis.
Kemudian, bagaimana respon
dari perusahaan Arla Foods dalam mengahdapi kasus ini? Sebenarnya dari
deskripsi kasus di atas, pihaknya sudah berupaya melakukan beberapa hal dalam
mengatasi krisis tersebut. Pertama, pihak Arla Foods bersama dengan Konfederasi
Indsutr Denmark sudah menghimbau pihak Jyllands-Posten untuk melakukan
permintaan maaf di surat kabar karena telah memuat gambar kartun yang
menggambarkan Nabi Muhammad SAW. Kedua, Arla Foods juga sudah menanggapi dengan
memasang iklan di koran Saudi dengan memberi penjelasan bahwa mereka tidak ada
keterkaitan dengan publikasi kartun tersebut, meskipun upayanya diakui tidak membantu.
Terakhir, Arla Foods juga sudah berupaya dengan ikut mensponsori kegiatan kemanusiaan
di wilayah Timur Tengah.
Dalam public relations, Arla Foods mengalami krisis karena adanya keterlambatan
respon dari Arla Foods itu sendiri dan kesalahan penyampaian pesan. Penulis
akan menganalisis berdasarkan urutan kejadian :
1. Pada tanggal 30 September
2005, belum ada persepsi bahwa Arla Foods merupakan produk dari Denmark.
2. Pada bulan Oktober 2005 dan
Februari 2006, Arla Foods sudah diketahui sebagai produk dari Denmark.
3. Setelah tanggal 20 Januari
2006, keadaan sudah parah, kredibilitas Arla Foods sudah turun. Dan disini Arla
Foods baru saja bertindak dengan mengeluarkan pesan bahwa Arla Foods tidak ada
hubungannya dengan Jyllands-Posten ( hal ini menunjukan adanya keterlambatan
respon dari Arla Foods).
4. Kesalahan penyampaian pesan
terjadi pada saat pihak Arla mengatakan “Kami menemukan diri kami menjadi
bagian dari sebuah games yang sebenarnya kami tidak terlibat dalam itu. Hal ini
lebih menyulitkan untuk mendapatkan kepercayaan lagi dari muslim customers.”
Ketika suatu perusahaan mengalami krisis, pihaknya tidak boleh untuk
menyalahkan pihak lain. Sehingga terjadi kesalahan penyampaian pesan dalam
kasus yang menyeret Arla Foods ini.
5. Akan lebih baik lagi jika pihak
Arla melakukan press conference kepada publik agar mereka merasa diperhatikan
oleh perusahaan Arla dan sebagai bentuk kepedulian umat Islam untuk memberikan
informasi sekaligus promosi tentang produknya yang akan dipasarkan kembali di
Timur Tengah. Press conference juga bertujuan untuk memintaa maaf atas nama
pribadi perusahaan Arla terkait kasus penyebaran kartun Nabi Muhammad yang
berdampak langsung pada produknya sendiri. Jadi bukan hanya permintaan maaf
lewat surat kabar saja yang dilakukan Arla tetapi bisa juga dilakukan secara
langsung. Karena dalam situasi krisis, apabila kredibilitas sudah diserang,
tidak cukup hanya menggunakan bahasa verbal saja, tetapi juga menggunakan action.
DAFTAR PUSTAKA
Kriyantono,
R. (2015). Public Relations, Issue & Crisis Management : Pendekatan Critical
Public Relations Etnografi Kritis & Kualitatif. Jakarta: Prenadamedia
Group.
Prayudi.
(2007). Manajemen Isu dan Tantangan Masa Depan: Pendekatan Public Relations. Jurnal ilmu Komunikasi. 4(1).
Ruslan,
R. (1999). Praktik dan Solusi Public Relations dalam Situasi Krisis dan
Pemulihan Citra. Jakarta: Ghalia Indonesia
Comments
Post a Comment